Mengapa saya bisa kangen makan waffle? Mungkin karena pengin sarapan sesuatu yang tidak terlalu mengenyangkan, dan yang terlintas di pikiran itu waffle. Segera saya mencari resep waffle di internet karena belum pernah sekalipun membuatnya.
Bicara soal waffle, jadi ingat pertama kali saya menyantap waffle. Ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika sarapan di sebuah hotel di Surabaya. Diantara beberapa makanan yang tersaji, pilihan jatuh ke waffle dengan siraman sirup maple.
Saya tidak menyangka bisa menyukai rasa waffle sejak gigitan pertama. Teksturnya yang empuk, dan rasa manis yang pas di lidah, memaksa saya untuk segera menghabiskan waffle pertama dan mengambil waffle berikutnya.
Ternyata, pengalaman menyantap makanan Western yang satu ini meninggalkan kesan candu. Hingga terbersit niat, jika ada kesempatan saya ingin makan waffle lagi.
Meskipun suka dengan waffle namun saya tidak serta merta ingin
membuatnya sendiri. Selain masih belum memiliki gambaran mengenai cara membuat
waffle, saya pun belum memiliki cetakan waffle.
Ketika pada akhirnya saya bisa membuat waffle sendiri, ini menjadi sebuah hajat yang terkabul. Jadi, beberapa waktu lalu saya mendapat bingkisan berupa cetakan waffle berbentuk bulat dengan ukuran mini. Ini membuat saya bersemangat!
Cerita Singkat Mengenai Sejarah Waffle
Menurut
catatan, waffle ternyata telah melalui perkembangan sejarah yang amat panjang. Mulai
dari cikal bakal, penamaan hingga cetakan waffle yang digunakan. Konon cikal
bakal waffle dimulai dari Yunani Kuno. Masyarakat di sana menyebutnya sebagai
Obleios. Cara membuatnya dengan menaruh adonan di antara dua piringan logam dan
memanggangnya di atas bara api.
Selanjutnya,
makanan ini menjadi sangat popular di wilayah Eropa Barat pada abad
pertengahan. Di sanalah nama waffle mulai dikenal. Sejarah penamaan waffle
pertama kali muncul dalam bahasa Inggris pada 1725. Jauh sebelum itu, yaitu pada
abad 13 dalam bahasa Belanda telah dikenal kata “wafele”. Kata “wafele” ternyata
diambil dari bahasa Perancis
'walfre' pada tahun 1185. Walfre artinya sarang lebah.
Setelah melalui sejarah panjang, sekarang waffle memiliki berbagai jenis baik bentuk, rasa, maupun penyajiannya. Masing-masing wilayah memiliki waffle dengan ciri khas yang berbeda. Diantaranya menjadi popular di dunia, yaitu :
Belgian waffle, Liege waffle, Scandinavian waffle, American waffle, Hong Kong waffle, dan Dutch stroopwafels
Meskipun
waffle memiliki beragam jenis namun bahan dasar utama waffle itu sama.
Diantaranya tepung terigu, susu, telur, gula dan lemak (minyak, mentega ataupun
margarin) dicampur hingga berbentuk adonan yang agak kental dan kemudian dipanggang
dengan cetakan berlekuk.
Waffle cocok disantap saat hangat, dengan aneka topping bercita rasa manis. Paduan waffle dan sirup maple memang paling klasik. Nuansa rasa manisnya tidak berlebihan, dan bikin nagih. Jika tidak ada sirup maple, bisa diberi kombinasi topping berupa selai, coklat, es krim maupun buah segar
Bentuk dari waffle pun beragam rupa, ada yang segiempat, bulat maupun bentuk hati. Persamaannya ada pada lekukan berbentuk kotak pada permukaan waffle tersebut.
Mencoba Resep Waffle Belgia Ala Farah Quin
Untuk percobaan pertama ini, saya memilih membuat Belgian Waffle. Saya tertarik dengan tekstur waffle Belgia karena luarnya garing tapi dalamnya empuk namun ringan. Tipe waffle yang kopong. Lain waktu, saya akan mencoba jenis waffle yang berbeda.
Konon, Waffle Belgia pernah disajikan di The Brussels World Fair Expo 1958. Di kemudian hari waffle tersebut diperkenalkan ke Amerika Utara pada 1962 tepatnya di Century 21 Exposition di Seattle.
Ada beberapa versi pembuatan Waffle Belgia. Ada yang menggunakan ragi, sementara itu versi lainnya menggunakan baking powder. Ternyata, penggunaan ragi ataupun baking powder itulah yang membuat tekstur Waffle Belgia, ringan dan empuk.
Selain itu, pengocokan putih telur secara terpisah juga lazim dalam pembuatan Waffle Belgia. Bahkan dalam versi yang lain, adonan didiamkan selama semalam. Versi yang terakhir membutuhkan waktu lebih lama.
Sudah lazim jika tiap dapur memiliki resep yang berbeda, dengan bahan andalan masing-masing. Ini bukan persoalan benar atau salah, melainkan soal selera.
Kali ini saya mencoba resep yang simpel saja. Resep yang saya pilih adalah resep Waffle
Belgia dari Chef Farah Quin. Alasannya karena dari sisi takaran bahan, mudah
diaplikasikan.
Sebenarnya
ada dua resep waffle Belgia yang menarik perhatian saya, namun resep yang satu lagi
takarannya rumit. Iya, karena satu resep memakai setengah butir telur, susah
kan membagi telurnya. Sementara itu jika harus membuat dua kali resep, khawatir
terlalu banyak. Apalagi belum tentu cocok sama rasanya, kan.
Berikut ini resep Waffle Belgia, silahkan disimak!
Menurut pengalaman saya, menyiapkan adonan Waffle Belgia ala Farah Quin itu relatif
mudah dan cepat. Lebih lama waktu yang dibutuhkan untuk memanggang adonan
wafflenya. Apalagi jika menggunakan cetakan mini, yang hanya memiliki satu cetakan saja.
Oh,
ya, adonan waffle saya panggang menggunakan electric waffle maker yang saya
ceritakan tadi. Kelebihannya, panas electric waffle maker ini stabil,
jadi matangnya bisa merata.
Mini
waffle maker yang saya miliki ada lampu indikatornya. Ketika mulai memanggang
lampu akan menyala dan ketika waffle matang, lampu akan padam diiringi bunyi,
klik. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 menitan untuk lampu indikator padam. Namun, karena hasilnya masih kurang garing, akhirnya dipanggang 3 menitan lagi.
Praktis,
sih, tidak perlu membolak-balikan cetakan, waffle pun bisa matang secara merata.
Hanya saja, cetakan tersebut membutuhkan daya listrik sebesar 350 watt.
Bagaimana Rasa Waffle Belgia Ala Farah Quin?
Saat adonan waffle yang dipanggang mulai matang, aroma wangi mentega, vanili yang berpadu dengan bahan lain itu mulai menguar menusuk hidung.
Sesaat
setelah lampu idikator pada cetakan mati, saya buka cetakannya dan nampaklah
waffle dengan warna kecoklatan yang merata dengan aroma wangi yang membangkitkan
keinginan untuk segera menyantapnya.
Waffle Belgia ini memiliki tekstur yang empuk namun ringan dan ada sensasi garing di luarnya. Rasa manis waffle Belgia ala Farah Quin ini pas banget. Tidak bikin eneg.
Kali
ini saya membagi adonan waffle jadi dua bagian. Sebagian adonan diberi pasta pandan
dan separuhnya lagi original. Keduanya memiliki tekstur yang sama hanya berbeda
pada aroma dan rasa. Untuk yang memakai pasta pandan sedikit lebih kaya rasa. Tapi,
saya dan anak-anak lebih menyukai yang versi originalnya.
Saat itu waffle Belgia disajikan dengan berbagai topping, seperti madu, taburan kismis. Adapula yang disajikan dengan topping es krim diberi taburan
chocochip dan buah Strawbery. Meskipun diberi topping dengan rasa yang manis,
rasa waffle memang bertambah manis namun tetap dalam kadar yang pas. Tidak
membuat eneg.
Saya senang karena ini pengalaman
pertama membuat waffle dan langsung berhasil. Resep Waffle Belgia ala Farah
Quin ini, mudah diaplikasikan dan dari sisi tekstur serta rasa, cocok dengan lidah saya.
Nah, itu tadi cerita saya mencoba resep Waffle Belgia dari chef Farah Quin. Jika kalian tertarik, silahkan dicoba resepnya, ya. Sesekali tidak apa mencoba menu sarapan yang berbeda, agar tidak bosan.
Semoga
bermanfaat dan selamat mencoba teman-teman!
Salam